Ajaran Samin atau lebih dikenal dengan Samin
dengan tokoh sentralnya yakni Samin Soerosentiko, disebut juga sedulur sikep. Samin
Soerosentiko sendiri lahir dengan nama kecil Raden Kohar pada tahun 1859 di
desa Ploso-Kediren, Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden
Surowijaya yang lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Di tahun itu kekuasaan atas
wilayah Indonesia (Hindia Belanda saat itu) adalah di bawah kekuasaan Belanda. Lahir
di bawah kekuasaan penjajah, yang sudah menjadi rahasia umum bahwa adanya
ketidak adilan dalam kehidupan, menjadi salah satu latar belakang pergerakan
ajaran Samin.
Lahir dengan nama Kohar, dank arena ia
merupakan kalangan bangsawan maka ia berhak mengenakan nama Raden Kohar. Akan tetapi
pada suatu ketika ia mengganti namanya menjadi Samin yang lebih kerakyatan. Ganti
nama itu diikuti sifat bijak yang memberi pencerahan bagi orang di sekitarnya.
Sejak 1890, sebagai Samin, dia mulai menyiarkan ajarannya di desa Klopodhuwur.
Banyak orang dari desa tersebut terpengaruh, kemudian juga desa sebelahnya,
Tapelan. Ajaran yang awalnya dianggap biasa oleh pemerintahan kolonial Belanda
dibiarkan saja, karena dianggap hanya ajaran kebatinan atau agama baru biasa. Pada
Januari 1903 Residen melaporkan bahwa ada sejumlah 772 orang pengikut Samin
yang tersebar di 34 Desa Blora bagian selatan dan sekitarnya yang giat
mengembangkan ajaran samin. Barulah di tahun 1905, pemerintah kolonial mulai
pusing. Pengikut-pengikut Samin itu tak sudi lagi bayar pajak. Jumlah
pengikutnya pun terus bertambah. Tahun 1907, jumlah pengikut Samin diperkirakan
lebih dari 5.000 orang.
Maret 1907, muncul isu adanya pemberontakan.
Sehingga para pengikut Samin yang hadir dalam acara syukuran di desa Kedhung, Tuban
ditangkapi. 8 November 1907 Samin Soerosentiko diangkat oleh para pengikutnya
sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Aparat Kolonial
pribumi mulai khawatir dan bertindak. Kemudian selang 40 hari Samin
Soerosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo Asisten Residen wedana Randublatung
pada 18 Desember 1907 bertepaan
dengan tanggal 12 Selo 1325 Tahun Jawa. Selanjutnya, Samin dikurung di bekas tobong pembaran batu gamping. Kemudian
dia dibawa ke Rembang untuk diperiksa. Setelah pemeriksaan Samin Soerosentiko
diputuskan bersalah dan beserta delapan pengikutnya diberi hukuman pengasingan.
Samin Soerosentiko dan sejumlah pengikutnya dibuang ke Sawahlunto, Sumatera
Barat. Ini dilakukan pemerintahan Kolonial Belanda untuk menjauhkan Samin
dengan para pengikutnya. Samin Soerosentiko berada di pembuangan hingga
meninggal pada 1914.
Pengkaji sejarah dan budaya kabupaten Blora,
Eko Arifiyanto menjuluki Samin Surosentiko sebagai Orang Rantai dari Blora. Hal
ini karena Samin Surosentiko menjalani pengasingan dengan kaki yang dibelenggu
rantai.
1908, setelah penangkapan Samin Soerosentiko
sebagai tokoh sentral dalam ajaran Samin tidak membuat padam nafas pergerakan
Samin. Wongsorejo, salah satu pengikur Samin mengajarkan ajaran Samin di
Madiun. Dengan salah satu ajarannya yakni penolakan membayar pajak. Karena
membahayakan kepentingan pemerintahan Belanda dengan mengajarkan pelawanan tidak
membayar pajak Wongsorejo dengan beberapa pengikutnya dibuang keluar Jawa.
1911, Surohidin, menantu Samin Soerosentiko
dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati. Tahun 1912,
pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten
Tuban, tetapi mengalami kegagalan.
Enam tahun setelah penangkapan Wongsorejo,
tahun 1914 secara massal masyarakat Madiun menolak membayar pajak kepada
pemerintah kolonial. Peristiwa pembangkangan massal ini menginspirasi gerakan
serupa di beberapa daerah diantaranya, Kajen dan Larangan (Kabupaten Pati),
Tapelan (Kabupaten Bojonegoro) dan tempat-tempat lain. Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena
Pemerintah Kolonial Belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi
orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi. Di Kajen Pati, Karsiyah tampil
sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak
membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat
desa dan Polisi. Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap
Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak.
Pemerintah kolonial pun tidak tinggal diam
menghadapi pembangkangan ini. Sejumlah pengikut Samin Surosentiko di Madiun,
Pati, Grobogan dan Kudus ditangkap. Penangkapan ini tidak membuat pengikut Samin
Surosentiko berkecil hati.Para pengikut Samin Surosentiko meyakini bahwa Ratu
Adil akan segera tiba. Di tahun yang sama yakni 1914 Samin
meninggal di pembuangannya.
“Ratu Adil akan segera tiba bila tanah yang
digadai pemerintah kolonial Belanda dikembalikan kepada orang Jawa.“
Kalimat tersebut diyakini oleh para pengikut Samin Surosentiko dan menjadi
motivasi untuk mengusir penjajah asing dari tanah Jawa.
Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal
ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh.
Menurut Paulus, Samin menjadi bahan cemoohan
yang bersifat politis oleh pemerintah. Samin dicitrakan sebagai hal buruk.
Pengikut-pengikutnya, yang disebut orang Samin, terus hidup dan tak suka
dipaksa oleh pihak manapun. Samin dan pengikutnya, juga sebagian orang yang
bukan pengikutnya, adalah orang-orang yang berkemauan keras dan tak suka
dipaksa. Sejak lama, pengikut ajaran Samin kebanyakan adalah masyarakat petani.
Sawah dan ladang mereka tentu akan mereka jaga jika diganggu oleh siapa pun.
Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri
hingga baru pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok
Samin ini tersebar di beberapa daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun
konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa
Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah
mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua
provinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata Samin bagi
mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka
sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak membayar pajak, dan
acap menjadi bahan lelucon.
Perlawanan Samin adalah pemberontakan di
masanya, beban pemerintahan. Tetapi menjadi simbol perlawanan di masa sekarang.
Bahkan sekarang telah dianggap sebagai ikon Kabupaten Blora di bidang
pariwisata dengan adanya gedung Samin di Blora.
Pada September 2019 lalu Kabupaten Blora
menerima penghargaan Warisan Budaya Tak Benda(WBTB) Kebudayaan Samin dari
Kemendikbud RI.
Sumber referensi :
0 Comments:
Post a Comment