Tembang Macapat yaiku puisi
bertembang karena pembacaannya ditembangkan. Jadi, pembacaan harus sesuai
dengan susunan titilaras atau notasi yang sama dengan pakemnya.
Bagi masyarakat jawa, tembang
macapat yaiku salah sawijining tembang kang ngrembaka ing tlatah Jawa kang
nduweni sawehening paugeran. Terdapat 11 jenis tembang macapat yang dikenal
oleh masyarakat Jawa.
Setiap tembang macapat memiliki
aturan masing-masing, tembang macapat juga memiliki arti dan watak yang
berbeda. Aturan-aturan dalam Tembang Macapat yakni adanya guru lagu, guru
wilangan, dan guru gatra. Guru lagu yakni merupakan persamaan bunyi sajak pada
akhir kata dalam setiap baris, bunyi lagu pada setiap akhir baris yakni
(a,i,u,e,o) disebut dong dinge swara. Sementara guru wilangan adalah jumlah
suku kata pada setiap baris, dan guru gatra sendiri adalah cacahing larik utawa
baris saben bait, jadi guru gatra adalah jumlah baris dalam setiap lagu.
Contohnya misalnya dalam tembang
Pucung yang memiliki aturan guru gatra 4 dan guru wilangan 12,6,8,12 dan dengan
guru lagu u, a, i, a. jadi tembang Pucung terdiri dari 4 baris dengan aturan
dibaris pertama 12 suku kata dengan akhiran u, 6 suku kata dengan akhiran a, 8
suku kata dengan akhiran I, 12 suku kata dengan akhiran a, jika
diimplementasikan jadi seperti ini contohnya.
Ngelmu niku kelakone kanthi laku
Lekasse lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya budaya pangekese dur
angkara
Sementara itu ada 11 jenis
tembang Macapat. 11 jenis Tembang Macapat itu adalah
Maskumambang berasal dari dua
kata, yakni mas dan kumambang yang
dalam bahasa
Indonesia artinya emas terapung. Tembang macapat maskumbang
menceritakan tahap pertama dalam perjalanan hidup manusia.
Maskumambang melambangkan anak
yang masih dalam kandungan. Tembang macapat maskumambang banyak berisi nasehat
kepada seorang anak agar selalu berbakti kepada orang tua.
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Maskumambang yakni 12i, 6a, 8i, 8a. contoh tembang Maskumambang adalah
Wong tan manut pitutur wong tuwo ugi…
Ha nemu durhaka…
Ing dunyo tumekeng akhir…
Tan wurung kasurang-surang…
Mijil berasal dari kata bahasa Jawa wijil yang
bermakna keluar. Tembang mijil memiliki makna saat anak
manusia terlahir ke dunia dari rahim ibunya. Tembang mijil ini sering digunakan
untuk memberi nasihat dan ajaran kepada manusia agar selalu kuat serta tabah
dalam menjalani kehidupan.
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru Wilangan Mijil yakni 10i, 6o, 10e,
10i, 6i, 6u
Contohnya
Wulang estri kang wus palakrami
Lamun pinitados
Amengkoni mring balewismane
Among putra marusentanabdi
Den angati-ati
Ing sadurungipun
Sinom berarti daun yang muda. Sinom juga berarti isih enom (masih
muda). Tembang macapat sinom melukiskan masa muda, masa yang indah, serta masa
penuh dengan harapan dan angan-angan. Tembang macapat sinom berisi nasihat,
rasa persahabatan, dan keramahtahamahan.
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Sinom yakni 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a
Contohnya
Pangéran kang sipat murah
Njurungi kajating dasih
Ingkang temen tinemenan
Pan iku ujaring dalil
Nyatané ana ugi
Iya Kiyageng ing Tarub
Wiwitané nenedha
Tan pedhot tumekèng siwi
Wayah buyut canggah warèngé kang tampa
Kinanti berasal dari kata kanthi
atau tuntun ‘bimbing’ yang berarti bahwa kita membutuhkan tuntunan atau
bimbingan. Tembang kinanti mengisahkan kehidupan seorang anak yang membutuhkan
tuntunan untuk menuju jalan yang benar. Tembang kinanti digunakan untuk
menyampaikan suatu cerita yang berisi nasihat yang baik serta kasih sayang.
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Kinanthi yakni 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i
Contohnya
Pangasahe sepi
samun…
Aywa esah ing
salami…
Samangsa wis
kawistara…
Lalandhepe mingis
mingis…
Pasa wukir
reksamuka…
Kekes srabedaning
budi…
Tembang asmarandana berasal dari
kata asmara ‘asmara’ dan dahana ‘api’ yang berarti ‘api asmara’ atau ‘cinta
kasih’. Tembang ini mengisahkan perjalanan hidup manusia yang berada pada tahap
memadu cinta kasih dengan pasangan hidupnya. Tembang asmarandana menggambarkan
perasaan hati yang berbahagia atau rasa pilu dan sedih karena dirundung cinta.
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Asmaradana yakni 8i, 8a, 8e/o, 8a, 7a, 8u, 8a
Contohnya
Sang dyah sukune
mung siji
Atenggak datanpa
sirah
Ciri bengkah
pranajane
Tinalenan
jangganira
Sinendhal ngasta
kiwa
Ngaru ara denya
muwus
Sarwi kekejek
kekitrang
Gambuh memiliki arti cocok atau
jodoh. Tembang gambuh ini menceritakan seseorang yang telah bertemu pasangan
hidupnya. Gambuh digunakan untuk menyampaikan cerita dan nasihat kehidupan,
seperti rasa persaudaraan, toleransi, dan kebersamaan.
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Gambuh yakni 7u, 10u, 12i, 8u, 8o
Contohnya
Aja kakehan sanggup
Durung weruh tuture
agupruk
Tutur nempil
panganggepe wruh pribadi
Pangrasane keh kang
nggunggung
Kang wus weruh
amalengos.
Kata dhandhanggula berasal dari
kata ‘dhangdhang ‘berharap’ atau ‘mengharapkan’, tetapi ada pula yang
mengatakan berasal dari kata gegadhangan yang berarti ‘cita-cita’,
‘angan-angan’, atau ‘harapan’. Kata gula menggambarkan rasa manis, indah, atau
bahagia.
Dengan demikian, tembang macapat
dhandhanggula memiliki makna ‘berharap
sesuatu yang manis’ atau ‘mengharapkan yang indah’. Tembang ini digunakan
sebagai tembang pembuka
yang menjabarkan berbagai ajaran kebaikan serta ungkapan rasa cinta dan
kebahagiaan.
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Dhandhanggula yakni 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a
Contohnya
Dha makarya kanthi
ikhlas ati
Bebarengan saha
tangga-tangga
Saha sanak sadulure
Mengko dadi sadulur
Seneng yen padha
kerja bakti
Atine ora susah
Iku gugur gunung
Mugia tansah
ngrembaka
Ora oncat saka ati
sanubari
Muga bisa piguna
Tembang macapat durma biasanya
digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat amarah, berontak, dan nafsu untuk
berperang. Tembang ini menunjukkan watak manusia yang sombong, angkuh, serakah,
suka mengumbar hawa nafsu, mudah emosi, dan berbuat semena-mena terhadap
sesamanya.
Dalam istilah Jawa keadaan
semacam itu disebut dengan munduring tata karma (durma) ‘berkurangnya atau
hilangnya tata krama’. Tembang durma sering berisi nasehat agar berhati-hati dalam
meniti kehidupan.
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Durma yakni 12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i
Contohnya
Paman-paman, apa
wartane ing dalan,
ing dalan akeh
pepati
mati kena apa
mati pinedhang ligan
ing jaja terusing
gigir
akari raga
badan kari
gluminting
Pangkur bisa disamakan dengan
kata mungkur yang artinya ‘undur diri’. Tembang pangkur menggambarkan manusia
yang sudah tua dan sudah mulai banyak kemunduran dalam fisiknya. Badannya mulai
lemah dan tidak sekuat pada saat usia muda. Tembang pangkur sering digunakan
oleh orang Jawa sebagai pitutur (nasehat) yang disampaikan dengan kasih sayang.
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Pangkur yakni 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i
Contohnya
Sekar Pangkur kang
Winarna,
Lelabuhan kang
kangge wong aurip,
Ala lan becik
punika,
Prayoga kawruhana,
Adat waton punika
dipun kadulu,
Miwah ingkang
tatakrama,
Den kaesthi siyang
ratri
Kata megatruh berasal dari kata
megat ‘pisah’ dan ruh ‘nyawa’ sehingga megatruh dapat diartikan ‘berpisahnya
ruh dari tubuh manusia’. Makna yang terkandung dalam tembang megatruh
adalah saat manusia mengalami kematian.
Tembang megatruh berisi nasehat
agar setiap orang mempersiapkan diri menuju alam baka yang kekal dan abadi.
Tembang ini biasanya digunakan untuk menggambarkan rasa penyesalan, duka cita,
atau kesedihan.
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Megatruh yakni 12u, 8i, 8u, 8i, 8o
Contohnya
Karo dhawuh
sadalan-sadalan anempuh,
Omah-omah diobongi,
Uwonge padha kon
teluk,
Yen lumuh njur dirampungi,
Kabehe uwis kalakon.
Kata pucung atau pocong
ditafsirkan sebagai orang meninggal yang sudah berada di alam kubur. Tembang
macapat pucung diibaratkan tahapan terakhir dalam kehidupan manusia, yaitu
berada di alam baka.
Tembang pucung biasanya
menceritakan hal-hal yang lucu atau berisi tebak-tebakan untuk menghibur hati.
Meskipun bersifat jenaka, isi tembang pucung
ini mengandung nasihat bijak untuk menyelaraskan kehidupan antara manusia,
alam, lingkungan, dan Tuhan Sang Pencipta.
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Pucung yakni 12u, 6a, 8i, 12a
Contohnya
Mandheg mangu si
kancil ing lampahipun,
sakedhap angungak,
sigra denira
andhelik,
ngulap-ulap si
kancil sadangunira.
Diambil dari berbagai sumber