Tentu kita tahu trailer film Bumi Manusia yang dibintangi oleh Iqbaal
Ramadhan yang trailernya per 13 Juli 2019 telah ditonton lebih dari 4,2 juta
kali. Bumi Manusia? Terdengar asing sebelumnya atau sudah mulai familiar?
Merupakan buku pertama dari rangkaian Tetralogi Buru dan sampai dengan tahun
2005, buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. Merupakan buku karangan
Pramoedya Ananta Toer.
Pramoedya Ananta Mastoer nama asli dari Pramoedya Ananta Toer. Salah satu
pengarang paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pram sapaan akrabnya
telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan telah diterjemahkan lebih dari 42
bahasa asing. Pramoedya dilahirkan di Blora, Jawa tengah 6 Februari 1925.
Sebagai anak sulung dari 9 bersaudara, walaupun sebenarnya Pram adalah anak
kedua namun karena anak pertama meninggal dalam kandungan makan Pram dianggap
sebagai anak sulung. Ayahnya Pak Mastoer adalah seorang guru dan ibunya adalah
seorang penjual nasi. Nama keluarganya Mastoer dirasa terlalu aristokratik, ia
menghilangkan awalan ‘Mas’ dari nama tersebut dan hanya menggunakan “Toer”
sebagai nama keluarga. Pram menempuh pendidikan di Sekolah Kejuruan Radio di
Surabaya, kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di
Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa
dan kerap ditempatlan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Pram menulis
cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda
di Jakarta pada 1948 dan 1948. Pada 1950-an Pram tinggal di Belanda sebagai
bagian dari program pertukaran budaya, dan saat kembali ke Indonesia Pram
menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisanna
berubah pada masa ini, seperti dalam karyanya Korupsi , fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas
perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara Pram dengan pemerintahan
Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa
Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan
para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat
dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia,
berjudul Hoakiau di Indonesia.
Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada
keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal
mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia
ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya
dilarang dari peredaran, dan Pram ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan dan
akhirnya di pulau Buru kawasan Indonesia Timur. Di semacam penjara konsentrasi
terhadap kasus-kasus politik Komunisme pada masa itu.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada
masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14
tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan (13
Oktober 1965 – Juli 1969, Juli 1969 – 16 Agustus 1969
di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 – 12 November 1979 di Pulau
Buru, November – 21 Desember 1979 di Magelang). Ia dilarang menulis
selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun masih dapat menyusun serial
karya terkenalnya yang berjudul Bumi
Manusia, 4 seri novel semi-fiksi sejarah Indonesia yang menceritakan
perkembangan nasionalisme Indonesia dan sebagian berasal dari pengalamannya
sendiri saat tumbuh dewasa. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa,
bercermin pada pengalaman RM Tirto Adhi Soerjo seorang tokoh pergerakkan pada
zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Prijaji dan media
resmi sebagai sarana advokasi, Medan Prijaji yang diakui oleh
Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan
secara lisan kepada rekan-rekan di Unit III Wanayasa, Buru, sebelum dia
mendapatkan kesempatan untuk menuliskan kisahnya di mana naskah-naskahnya
diselundupkan lewat tamu-tamu yang berkunjung ke Buru.
Pram akhirnya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapat
surat pembebasan tidak bersalah secara hokum serta tidak terlobat dalam Gerakan
30 September, akan tetapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992,
serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu
kali seminggu ke kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia merampungkan
penulisan Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan
pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan
tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan,
dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja
sama dengan Yayasan Lontar pada
1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir.
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis
surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang
dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan
mengganyang" pada masa Demokrasi Terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan
penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufiq
Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan
itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya
itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan
pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di
pihak lain, Mochtar Lubis malah
mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya pada
tahun 1958, jika Pram tetap akan
dianugerahkan hadiah yang sama. Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah
diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah
mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai
opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban
dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggung jawaban Pram, untuk
mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling
gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama
seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya
pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh
diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat
jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala.
Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang
materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan
ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru berkuasa,
Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan
telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Tetapi
dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau
Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang
dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas
Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib
Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada, sejak dipindahkan dari Unit
III ke Markas Komando atau Mako. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh
media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup lebih baik
dalam penahanan itu. Pramoedya kerap kali menjadi 'bintang' ketika ada tamu
dari luar negeri yang berkunjung, karena reputasinya di Internasional sangat
dihargai.
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang
mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para
wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang.
Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual,
berakhir tinggal di sana dan tidak kembali ke Jawa. Pramoedya membuat
perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama
masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema
interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum,
dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia
menceritakan pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan
kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan
Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia
juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI
2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia
menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan
dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif
menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan
kegemarannya merokok. Pada 12
Januari 2006,
ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong
Gede, Bogor,
dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 27 April 2006,
Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia
ke RS Saint Carolus hari itu juga.
Pram didiagnosis menderita radang paru-paru,
penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung,
dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga
hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan
itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29
April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di
rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa
memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat
memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan
tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya.
Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik,
lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan
bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan
keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa
menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00. Setelah itu,
beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan
menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut
terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan
segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman
dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang
asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga
para penggemarnya ikut menunggui Pram. Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar
sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun,
pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika
ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya
sekarang," katanya.
Pada 30 April 2006
pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di
Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara
lain Sitor Situmorang, Erry
Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan
Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman
Sudjatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan
cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.
Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla,
artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan
Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram
yang pernah ditahan di Pulau Buru juga
hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Jenazah dimandikan pukul
12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan
ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan
di antara pelayat.
Sumber :