Macapat adalah salah satu bentuk
karya sastra yang berbentuk puisi yang
dapat ditembangkan atau dinyanyikan sebagai sebuah ciri khas kesusastraan
Timur. Macapat juga dapat dikategorikan masuk dalam kelompok seni membaca atau resitasi. Istilah macapat atau dapat
disamakan dengan macapot dan macapet sudah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak
sekitar 1500 tahun SM atau masa pra sejarah. Tembang macapat memiliki ciri khas
dalam setiap jenisnya yakni adanya aturan guru lagu, guru gatra, dam guru
wilangan. 11 jenis tembang macapat itu yakni Maskumambang, Mijil, Kinanthi,
Sinom. Asmarandhana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan
Pocung.
Setiap tembang macapat memiliki
watak sendiri-sendiri dan merupakan gambaran dari tahapan kehidupan manusia.
Tembang macapat memiliki makna filosofi yang sangat dalam, maka dari itu
sekarang kami akan mengulas sedikit tentang watak-watak tembang macapat dan
tahapan dalam kehidupan manusia.
Maskumambang
Tahapan pertama diawali dengan
tembang Maskumambang dengan 12i, 6a, 8i, 8a. Tembang Maskumambang mengandung
filosofi hidup manusia dari awal penciptaannya, jadi Tembang Maskumambang
menggambarkan tahap awal penciptaan manusia sebagai embrio yang sedang
bertumbuh dalam Rahim ibu dan masih belum diketahui jati dirinya, belum juga
dapat dikatakan dan diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan.
Tembang Maskumambang
menggambarkan watak kesedihan atau duka, serta suasana hati yang nelangsa,
laram prihatin, mengiba, gundah, resah atau bisa juga digambarkan mengambang.
Mijil
Tembang Mijil dengan guru gatra,
guru lagu, dan guru wilangan 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u memiliki filosofi
penggambaran bentuk dari biji atau benih yang telah lahir di dunia. Jadi mijil
merupakan perlambangan awal mula perjalanan manusia di dunia, sebagai awal
permulaan perjalanan manusia yang masih suci dan begitu lemah sehingga
membutuhkan perlindungan dari orang-orang di sekitarnya. Mijil juga dapat
diartikan sebagai keluar, masih ada hubungannya dengan kata Wijil yang
merupakan persamaan kata dari lawing atau pintu.
Watak tembang Mijil ini sesuai
untuk menyampaikan nasehat, cerita-cerita, dan tentang asmara, berwatak
terbuka. Mijil cocok untuk menghantarkan nasehat, melahirkan rasa sedih atau
rasa sendu.
Kinanthi
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Kinanthi yakni 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i berasal dari kata ‘kanthi’ yang berarti menggandeng atau
menuntun. Tembang Kinanthi menggambarkan kehidupan manusia ketika masih
anak-anak, anak kecil yang masih perlu dituntun hingga nantinya dapat berjalan
sendiri dengan baik di dunia.
Watak tembang Kinanthi yakni
memberikan nuansa kasih sayang, kebahagiaan, serta keteladanan hidup. Lirik tembang
Kinanthi cocok untuk menyampaikan wejangan, nasehat hidup, serta seputar
ungkapan cinta atau kasih sayang.
Sinom
Tembang Sinom dengan guru gatra,
guru lagu, dan guru wilangan 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a mempunyai arti
pucuk yang baru tumbuh atau bersemi. Tembang Sinom mengandung filosofi
penggambaran sebagai manusia yang mulai beranjak dewasa, telah menjadi seorang
pemuda / remaja yang bersemi. Sebagai seorang pemuda juga menjadi tanggung
jawab dan tugasnya untuk menuntut ilmu sebaik dan setinggi mungkin.
Tembang Sinom memiliki watak tresna asih, canthas, trengginas, luwes,
grapyak, dan senang mencari pengelambana atau berpetualang.
Asmarandhana
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Asmaradana yakni 8i, 8a, 8e/o, 8a, 7a, 8u, 8a, berasal dari kata ‘asmara’
yang dapat diartikan sebagai cinta kasih dan dana berarti api, dapat dikatakan
berarti api asmara. Filosofi tembang Asmarandana mengenai perjalanan hidup
seseorang yang telah tiba waktunya untuk cinta kasih bersama pasangan hidup. Pada
hakikatnya kehidupan cinta merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai
kaidah penciptaan yang berpasang-pasangan. Asmarandana cocok untuk mengungkapkan
rasa rindu, rayuan disertai juga dengan rasa pilu atau sedih.
Gambuh
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Gambuh yakni 7u, 10u, 12i, 8u, 8o dan Tembang Gambuh mengandung arti
menyambungkan, ada juga yang mengatakan sama dengan kata ‘Jambuh’ atau cocok. Tembang
Gambuh dapat digambarkan tentang perjalanan hidup manusia yang telah menemukan
pasangan yang cocok untuk dirinya. Tembang Gambuh mengandung rasa akrab dan
bagus untuk menyampaikan nasehat yang bersungguh-sungguh, atau santai dan
akrab.
Tembang Gambuh memiliki watak
kerukunan, kekeluargaan, dan kebersamaan makhluk sosial.
Dhandhanggula
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Dhandhanggula yakni 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a berasal
dari dua kata ‘dhandhang’ dan ‘gula’. Dhandhanggula dapat diartikan sebagai
tempat sesuatu tempat yang manis. Tembang Dhandhanggula mengisahkan tentang
kehidupan dengan pasangan baru yang tengah berbahagia karena telah mendapatkan
yang dicita-citakan. Tembang Dhandhanggula tembang yang bermakna serba manis,
menyampaikan suasana serba manis, menyenangkan dan mengasikkan. Dhandhanggula melahirkan
suasana perasaan yang menyenangkan, menghantarkan ajaran yang baik, mengasikkan
dan mengungkapkan rasa kasih, melukiskan rasa keindahan dan keselarasan.
Watak Tembang Dhandhanggula
bersifat universal dan luwes serta merasuk ke dalam hati.
Durma
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Durma yakni 12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i dari kata Durma memiliki arti
pemberian. Tembang Gambuh memiliki filosofi yang mengisahkan kehidupan yang
suatu ketika dapat mengalami duka, selisih, serta kekurangan akan suatu hal. Sementara
menurut Hardjowirogo kata Durma berarti sima
atau harimau yang mempunyai watak
kasar, bengis dan bernuansa keras karena merupakan hewan pemakan daging.
Watak tembang Durma ini
melukiskan suasana keras, tegang, ungkapan kemarahan, gambaran pertikaian yang
serba tegang atau nasehat yang keras.
Pangkur
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Pangkur yakni 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i. Tembang Pangkur berasal
dari kata ‘mangkur’ berarti pergi
atau meninggalkan. Filosofi tembang Pangkur merupakan penggambaran kehidupan
yang seharusnya dapat menghindari berbagai hawa nafsu dan angkara murka serta
sifat buruk.
Watak Tembang Pangkur bernuansa
pitutur(nasehat), pertemanan, dan cinta. Dalam tembang ini mengisahkan manusia
yang telah menginjak usia senja, orang itu mulai mangkur atau mengundurkan diri
dari hal-hal keduniawian. Tembang Pangkur juga ada menurut Hardjowirogo berarti
buntut atau ekor. Ini bermakna ujung yang dapat mengacu pada puncak.
Megatruh
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Megatruh yakni 12u, 8i, 8u, 8i, 8o. Tembang Megatruh berasal dari dua
kata ‘megat’ dan ‘roh’ diartikan sebagai putus rohnya atau
terlepasnya roh. Filosofi tembang ini adalah tentang perjalanan hidup manusia
yang telah selesai di dunia atau telah berpulang pada yang pencipta. Ini merupakan
sebuah keniscayaan bahwa roh manusia pasti akan dan harus putus dari raganya
dan pada saatnya itulah harus kembali menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Singkatnya
dapat dikatakan tembang ini bermakna mati atau meninggal dunia. Tembang ini
mengisyaratkan suasana sedih, sendu, duka, sesal, pedih, dan merana.
Watak tembang Megatruh yakni
kesedihan dan kedukaan.
Pocung
Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru
Wilangan Pucung yakni 12u, 6a, 8i, 12a. Tembang Pocung berasal dari kata ‘pocong’
yang merupakan kondisi seseorang yang telah meninggal yang dibungkus kain kafan
dan dipocong sebelum dikebumikan. Filosofi Tembang Pocung menggambarkan adanya
ritual dalam melepaskan kepergian seseorang, yakni upacara pemakaman. Sementara
dalam pendapat lain kata pocung berarti buah keluak. Menurut tradisi tutur,
buah keluak ini dapat digunakan sebagai obat mencegah penyakit darah tinggi
serta mengurangi ketegangan. Maka dari itu tembang Pocung cocok untuk
menciptakan suasana santai, tidak tegang, jenaka dan riang, serta nasehat yang
akrab.
Watak tembang ini lebih santai
dan disampaikan dengan cara menghibur.