Nov 19, 2023

Tirto Adhi Soerjo Bapak Pers Nasional Asal Blora

Tirto Adhi Soerjo adalah Bapak Pers Nasional Indonesia, lahir dengan nama Raden Mas Djokomono anak dari Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro, sayangnya nama ibuny masih misterius. Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora, tepatnya di Kecamatan Cepu, mengenai tahunnya ada dua versi yang ada saat ini. Pertama, yang dimuat dalam Buku Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah pada tahun 1962, disebutkan bahwa Tirto lahir pada 1872 dan wafat pada tahun 1917. Versi lain menyebutkan bahwa Tirto Adhi Soerjo lahir pada tahun 1880. Raden Mas Djokomono atau Tirto Adhi Soerjo bukan orang sembarangan, dia adalah bangsawan jawa yang merupakan cucu dari Raden Mas Tumenggung Tirtonoto(Bupati Rajagwesi, Karesidenan Rembang, sebelum 1827, Rajagwesi merupakan sebutan Bojonegoro). Tirto Adhi Soerjo juga sangat dekat dengan neneknya Raden Ayu Tirtonoto yang merupakan keturunan(cucu) Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa.

Tirto Adhi Soerjo menjalani masa kecil dan remajanya bak nomaden, awal pendidikannya dimulai di ELS (Europeesche Legeere School) di Bojonegoro dengan diasuh neneknya, setelah neneknya meninggal Tirto Adhi Soerjo ikut sepupunya RMA Brotodiningrat di Madiun. Belum tamat di ELS, Tirto sudah pindah lagi ke Rembang dan diasuh oleh salah satu kakaknya yakni RM Tirto Adhi Koesoemo yang menjadi Kepala Jaksa di Rembang. Pada umurnya 14 tahun ia telah lulus ELS di Rembang, dan melanjutkan perantauannya ke Batavia.


Tirto Adhi Soerjo
RM Tirto Adhi Soerjo (tribunnews.com)

Awalnya Tirto merantau ke Betawi karena melanjutkan sekolah Hogere Burger School(HBS) – Setara SMA sekarang. Setelah lulus dari HBS dia diterima di sekolah dokter bumiputera, yakni School tot Opleiding van Inlandsche Artschen(Stovia) (Red : sekarang UI). Sebagai seorang priyayi Tirto justru tidak melanjutkan pendidikan di bidang pemerintahan, namun dia meneruskan pendidikannya ke sekolah dokter di Stovia pada tahun 1893-1900.. Masuk sekolah dokter Tirto tidak menyebabkannya tertarik kepada dunia kedokteran, justru ia lebih tertarik dengan dunia tulis-menulis. Ia akhirnya tidak sampai lulus di STOVIA, ia justru telah menumbuhkan benih-benih gagasan soal perlawanan kepada pemerintahan colonial saat itu lewat media.

Tirto Adhi Soerjo waktu itu sudah sering  mengirimkan tulisan ke berbagai surat kabar termemuka seperti Bintang Betawi, Chabar Hindia Olanda, dan Pembrita Betawi. Surat kabar terakhir iru menjadi tempat berkarir Tirto dan sempat menjadi redaktur walau dalam waktu singkat.

Tirto Adhi Soerjo mendapatkan pelajaran langsung dari jurnalis senior dan pemimpin redaksi Niews van den Dag. Mulai dari penulisan berita, mengelola penertibat, hingga belajar hukum untuk bisa menghantam kolonial.

Dikutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id Tirto Adhi Soerjo adalah seorang yang memberi inspirasi bagi masyarakat yang bingung dan tidak memiliki pijakan visi yang luas, serta cenderung kacau. Tirto Adhi Soerjo bukan hanya sebagai jurnalis, akan tetapi beliau juga perumus gagasan dan pengarang karya-karya non fiksi.

Tirto Adhi Soejo kemudian mendirikan dan memimpin Soenda Berita yang merupakan surat kabarnya sendiri pada tahun 1903-1905. Soenda Berita adalah surat kabar pertama yang dibiayai, dikola, disunting, dan diterbitkan secara langsung oleh pribumi, tirto Adhi Soerjo tidak hanya berhenti pada Soenda Berita, selanjutnya dia membuat Koran mingguan “Medan Prijaji’ (Red. Ejaan sekarang : Medan Priyayi) pada tahun 1909. Surat kabar Medan Prijaji juga merupakan surat kabar pertama yang diterbitkan menggunakan Bahasa Melayu atau Indonesia.

Tirto Adhi Soerjo ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional oleh Dewan Pers Indonesia Republik Indonesia pada tahun 1973, selain itu dia juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 10 November tahun 2016 lalu.

Nov 6, 2023

Ini Sebabnya ada Mitos Orang Cepu Dilarang ke Gunung Lawu

Tahukah kamu? Selama ini ada mitos bahwa orang Cepu dilarang naik ke Gunung Lawu. Ternyata ada alasan khusus kenapa ada mitos bahwa orang-rang Cepu-Bojonegoro dilarang mendaki ke Gunung Lawu. Jadi apa alasannya?
Gunung Lawu dianggap sebagai salah satu tempat yang memiliki kekuatan spiritual yang cukup tinggi. Konon, Gunung Lawu menyimpan banyak cerita dan berhubungan dengan Raja Majapahit yakni Prabu Brawijaya V.
Prabu Brawijaya V
Prabu Brawijaya V


Dulu, dikisahkan bahwa Prabu Brawijaya V yang merupakan Raja Kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1400 yang merupakan masa-masa akhir Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit pada masa itu telah mengalami pasang surut pemerintahan. Putra Prabu Brawijaya V yang bergelar Raden Patah telah mendirikan Kerajaan Isalm pertama di Jawa yakni Kerajaan Demak. Pada waktu itu Raja Brawijaya V gagal membujuk Raden Patah untuk kembali ke kerajaannya dan menolak untuk menjadikan Kerajaan Demak sebagai bawahan Kerajaan Majapahit.
Pada waktu itu terjadi pemberontakan dari menantu Prabu Brawijaya V sendiri, Prabu Brawijaya terpaksa pindah ke Demak. Raden Patah bermaksud mengajak ayahnya untuk memeluk Islam, akan tetapi Prabu Brawijaya menolaknya. Oleh karena tidak ingin untuk terus berselisih dengan anaknya sendiri sehingga Prabu Brawijaya bersama pengikutnya berpindah dan melarikan diri ke daerah Karanganyar. Akan tetapi dalam perjalanannya ini Prabu Brawijaya dan pengikutnya dikejar-kejar oleh Adipati Cepu bersama dengan pasukannya. Pengejaran itu pada akhirnya tidak berhasil untuk menangkap Prabu Brawijaya V yang berhasil mengasingkan diri ke puncak Gunung Lawu.
Singkat cerita, karena geram dengan pengejaran yang dilakukan oleh Adipati Cepu dan pasukannya, Prabu Brawijaya V bersumpah bahwa jika ada keturunan Adpiati Cepu atau orang Cepu yang ke Gunung Lawu akan celaka atau mati di Gunung Lawu.
Itulah penyebab mitos orang Cepu atau keturunan Adipati Cepu dilarang untuk mendaki ke Gunung Lawu.

Nov 3, 2023

Cerita Pembunuhan Bupati Blora oleh PKI di Gorong-Gorong Pohrendeng tahun 1948

Pemberontakan PKI atau Partai Komunis Indonesia telah kita kenal sebagai bagian dari sejarah bangsa Indonesiaa. Dalam perjalanan bangsa Indonesia setidaknya kita telah mengenal tiga kali pemberontakan PKI atau orang-orang komunis di Indonesia. Satu kejadian sebelum kemerdekaan yakni pada masa Hindia Belanda pada tahun 1927 dan dua selanjutnya adalah tahun 1948 serta tahun 1965. Pemberontakan itu menghasilkan kejadian berdarah, seperti pembunuhan ataupun penculikan, ternyata kejadian berdarah itu juga terjadi di Kabupaten Blora, bahkan korbannya adalah Bupati Blora pada saat itu.
Kejadian ini terjadi pada saat umur Indonesia baru kurang lebih 3 tahun atau tepatnya terjadi pada tahun 1948. Konflik internal ini awalnya terjadi di Madiun, lebih dikenal sebagai Pemberontakan PKI Madiun 1948. Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI pada kenyataannya tidak hanya terjadi di Madiun, akan tetapi juga terjadi di beberapa kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah, salah satunya adalah Blora. Pemberontakan PKI 1948 banyak memakan korban yang bukan hanya berasal dari pihak Pemerintah ataupun TNI, tetapi juga banyak dari penduduk sipil.
Kabupaten Blora menjadi salah satu tempat kejadian pemberontakan PKI tahun 1948. Kejadian pembantaian banyak terjadi di berbagai lokasi di Kabupaten Blora. Banyaknya tempat kejadian lokasi pembantaian itu, salah satu yang paling terkenal adalah ada di dukuh Pohrendeng, Desa Tamanrejo, Kecamatan Tunjungan. Kejadian tepatnya ada di sebuah gorong-gorong sebuah saluran air yang ada di tengah sawah. Lokasi ini kurang lebih berjarak 4 km dari pusat kota alun-alun Kabupaten Blora. Korban dari pembantaian di sini salah satunya adalah Bupati Blora saat itu yakni Mr. Iskandar.

Pada saat itu Bupati Blora hendak melakukan perjalanan menuju Semarang bersama dengan beberapa orang bawahannya dengan moda transportasi Kereta Api. Pada saat perjalanan itulah kemudian rombongan Bupati Blora bersama bawahannya ini dihadang oleh beberapa orang yang ternyata adalah anggota PKI. Bupati bersama rombongan bawahannya kemudian dibunuh dan jasadnya dibuang dan ditumpuk di gorong-gorong Pohrendeng ini.


Gorong-gorong Pohrendeng, tempat kejadian. sumber :kompasiana.com


Mengutip dari tulisan di kompasiana.com salah satu narasumber yakni Ridwan selaku kepala dukuh Pohrendeng, dia menceritakan bahwa “menurut salah satu saksi langsung dalam peristiwa tersebut yaitu Mbah Sambong yang sekarang sudah meninggal pernah menceritakan kepada saya mas. Awal mulanya Bupati Blora hendak pergi ke Semarang bersama beberapa asistennya dengan menaiki kereta api, namun ketika kereta sampai di lintasan Dukuh Pohrendeng kereta tersebut dihadang oleh beberapa orang yang ternyata anggota PKI dan kumpulan orang tersebut menyeret Bupati dan beberapa asistennya kemudian dibunuh dan jasadnya ditumpuk di bawah corongan ini(gorong-gorong Pohrendeng) mas.”

Narasumber lain seorang warga setempat Ahmad Asrori, mengatakan kepada liputan6.con bahwa “Ya, di corongan inilah duu para petinggi dibantai oleh para PKI,” gorong-gorong ini adalah jemban rel kereta api pada saat itu.

“Sepintas memang tidak ada yang istimewa dari banunan gorong-gorong bekas jembatan rel kereta api ini, karena tidak diabadikan menjadi tempat sejarah kejamnya PKI,” pungkasnya

Kejadian pemberontakan dan pembunuhan yang terjadi di tahun 1948 di Blora bukan hanya Bupati Blora Blora, TNI, asisten, dan para pejabat lainnya yang menjadi korban kekejaman PKI, akan tetapi juga banyak warga sipil di Kabupaten Blora yang menjadi korbannya. Konon, seorang penulis di kompasiana.com menulis bahwa jumlah jasa korban lebih dari 100 orang yang dikumpulkan di bawah corongan ini yang pada waktu itu adalah sebuah kubangan air yang cukup besar.

Kepada liputan6.com Sugie Rusyono menceritakan bahwa dia juga pernah bertemu dengan saksi hidup yakni mbah Sambong Gondowijoyo pada tahun 2014. Mbah Sambong Gondowijoyo adalah saksi hidup dan menceritakan melihat langsung peristiwa di corongan dari dekat ketika mbah Sambong Gondowijoyo masih muda dulu.

Sugie mengatakan kepada liputan6.com “Rasa ketakutan mbah Sambong membayang saat menceritakan peristiwa itu. Sebab dirinya melihat ada sekitar lima orang yang dibunuh oleh angora PKI dengan menggunakan senjata tajam di gorong-gorong Phrendeng pada malam hari,”

Nama Mr.Iskandar sekarang diabadikan sebagai salah satu jalan di Kabupaten Blora sebagai penghormatan kepada beliau. Jalan Mr. Iskandar yang terletak di selatan alun-alun Blora yang menghubungkan jalan ke arah Kecamatan Randublatung. Nama-nama lain yang juga diabadikan menjadi nama jalan di Kabupaten Blora adalah Jalan Abu Umar yang berada di sebelah barat alun-alun Blora sampai simpang tiga lapangan Bhayangkara Blora. lalu ada Jalan Gunandar yang berada di sebelah selatan Tugu Pancasila sampai SMP Negeri 2 Blora.

Selain nama-nama itu juga ada nama lain yang dibunuh PKI di Blora diantaranya adalah Kolonel Sunandar, Sumodarsono, Reksodiputro, Sudarman, dan AKBP Agil Kusumodyo, mereka dibunuh di lokasi yang berbeda. Nama-nama mereka juga diabadikan sebagai nama jalan di Kabupaten Blora.

Jul 17, 2023

Silsilah Keluarga Sunan Pojok Blora

Sunan Pojok ada yang makamnya berada di jantung kota Blora adalah salah satu senapati unggulan Kerajaan Mataram Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Dalam berbagai sumber Sunan Pojok memiliki beberapa nama yang dikenal yakni Pangeran Surabaya, Pangeran Surabahu, Pangeran Sedah, Syaikh Abdurrochim.

Sunan Pojok  Blora


Dalam sebuah sumber menyebutkan bahwa Ayah Sunan Pojok bernama Kyai Ashari Sunan Pejagong Tuban. Kalau dicari di Internet susah untuk ditemukan Sunan Pejagong Tuban, dan lebih diarahkan kepada Sunan Bejagung Tuban. Entah secara kebetulan atau tidak namanya juga Sayyid Abdullah Asy’ari, ada pula yang menyebutnya Syarif Asy’ari Baidhowi.

Dalam sumber yang lain Sunan Pojok yang dikenal sebagai Mbah Benun, Pangeran Sedah, Syekh Abdurrohim atau Pangeran Surobahu merupakan putra dari Pangeran Ronggo Sedayu. Dalam sumber yang sama disebutkan juga Pangeran Ronggo Sedayu ini adalah putra dari panembahan Marengat, putra dari Pangeran Singobarong. Putra Singobarong sendiri adalah menantu dari Sunan Kudus.

Dalam sebuah gambar ada yang menjelaskan hubungan antara silsilah Walisongo dan Sunan Pojok, ada di bawah ini :

Silsilah Sunan Pojok Blora
Silsilah Sunan Pojok Blora


Sementara itu Sunan Pojok memiliki tiga putra yakni Pangeran Kleco, Pangeran Sumodipo, dan Pengeran Dipoyudo. Dalam sumber yang sama menyebutkan bahwa ketiga putranya ini menjadi Adipati di Blora.

Membicarakan Sunan Bejagung Tuban/Sayyid Abdullah Asy’ari merupakan anak dari Sayyid Jamaluddin Kubro. Sayyid Jamaluddin Kubro ini sendiri adalah adik dari Sayyid Ibrahim Asmorokondi(ayah dari Sunan Ampel). Jadi dapat dikatakan bahwa ayah dari Sunan Pojok adalah sepupu dari Sunan Ampel Surabaya.

Jun 20, 2022

Kematian Arya Penangsang, Dendam dan Duka

Kerajaan/Kesultanan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa dan diperkirakan berdiri pada tahun 1478. Pendiri kerajaan Demak sekaligus raja pertama adalah Raden Patah memerintah antara tahun 1478-1518M. Selanjutnya dilanjutkan oleh Adipati Unus sebagai anak menantu tertua yang hanya memerintahkan selama kurang lebih 3 tahun antara 1518-1521 karena gugur dalam memimpin penyerbuan kedua Demak ke Malaka untuk mengusir Portugis. Adipati Unus kemudian lebih dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor. Sepeninggal Adipati Unus terjadi perebutan kekuasaan antara para calon penerus Sultan Demak karena Adipati Unus belum memiliki keturunan hingga wafatnya. Persaingan antara para penerus pemimpin Kerajaan Demak terjadi antara Trenggono dan Surowiyoto (Ayah Arya Penangsang). Singkat cerita Sultan Trenggono naik tahta Demak.

Di sisi lain kerajaan Jipang telah ada sejak abad ke-14 M, tepatnya pada masa pemerintahan raja ke-4 Majapahit. Kerajaan Jipang merupakan daerah perdikan sehingga tidak mempunyai kewajiban untuk membayar pajak karena jasanya sebagai daerah penyeberangan.

Penguasa Kerajaan Jipang yang pertama adalah Prabu Arya Jaya Dipa. Setelah wafatnya digantikan oleh anaknya yang bernama Raden Arya Seta, lalu dilanjutkan lagi oleh anaknya yang bernama Raden Usman Haji (Sunan Ngundung), sejak itu Jipang mengalami perubahan besar dalam sistem pemerintahan. Jipang mulai bekerjasama dengan Glagah Wangi (Demak) yang didirikan oleh Raden Patah (Sultan Demak yang pertam). Raden Patah kemudain menikah dengan putri Raden Usman Haji yang bernama Dewi Sekar Tanjung dan dianugerahi dengan dua orang anak bernama Ratu Mas Nyawa dan Surowijoyo. Surowijoyo atau Raden Kikin menikah dengan Dewi Roro Martinjung dan mempunya dua orang anak yakni Arya Penangsang dan Arya Mataram.

Surowiyoto atau Raden Kikin tewas dibunuh oleh Sunan Prawoto sepulang shalat Jumat di sungai, hingga akhirnya lebih dikenal sebagai Pangeran Seda Ing Lapen(Bunga yang gugur di sungai). Setelah kematian Raden Kikin atau Surowiyoto Sultan Trenggono pun naik tahta. Memerintah kurang lebih selama 25 tahun antara 1521 sampai dengan 1546, Sultan Trenggono tewas ketika memimpin serangan dalam rangka perluasan wilayah di Jawa Timur.

Sepeninggal Sultan Trenggono Raden Mukmin menggantikan sebagai raja ke-4 dengan gelar Sunan Prawoto, ibukota Demak dipindahkan ke Prawoto dan lebih dikenal sebagai periode Demak Prawoto (1546-1549). Pada tahun 1549 Arya Penangsang menuntut balas dan meminta tahta Demak karena merasa dialah yang berhak atas tahta Demak, dia tak terima atas kematian ayahnya. Arya Penangsang melakukan balas dendam dengan mengirim utusan bernama Rangkud dan menyerang Sunan Prawoto ketika ia sedang dalam perjalanan, Arya Penangsang juga melakukan pembunuhan terhadap Sunan Hadiri yang merupakan suami dari Ratu Kalinyamat. Setelah kematian Sunan Prawoto, Arya Penangsang menjadi penguasa Demak sebagai Sultan demak V, Ibukota Demak dipindahkan ke Jipang dan periode ini dikenal dengan sebutan Demak Jipang (1549-1554).

Kematian kakak dan suaminya membuat Ratu Kalinyamat dendam kepada Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat kemudian melakukan Tapa Wuda dan tidak akan menghentikan pertapaannya sebelum Arya Penangsang terbunuh.

Dikisahkan dalam Babad tanah jawi rombongan adipati Pajang Jaka Tingkir singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat tapa. Ratu Kalinyamat mendesak Jaka Tingkir untuk membunuh Arya Penangsang, dirinya yang mengaku sebagai pewaris tahka Sunan Prawoto berjanji akan menyerqhkan Demak dan Jepara kepada Jaka Tingkir jika ia menang.

Di sisi lain Jaka Tingkir segan untuk memerangi Arya Penangsang secara langsung karena bagaimanapun juga dia hanya menantu keluarga Demak sementara Arya Penangsang turunan langsung Demak (cucu Raden Patah). Maka dia mengumumkan sayembara, yakni barangsiapa yang dapat membunuh Arya Penangsang akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Alas Mentoak.

Akhirnya Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Sela, dan Ki Pandjawi mengikuti sayembara itu dan meminta izin kepada Jaka Tingkir untuk mengikutsertakan anak angkatnya yakni Sutawojaya untuk bersama mereka. Mereka dibekali pusaka tombah Kyai Plered dari Jaka Tingkir.


Dalam hari yang telah ditentukan pasukan Pajang menyerang Jipang dan saat itu Arya Penangsang sedang akan berbuka puasa setelah keberhasilannya puasa 40 hari. Terdapat surat tantangan atas nama Hadowijaya (Jaka Tingkir) yang memang saat itu sudah bertentangan dengan dirinya membuat Arya Penangsang tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang dipotong telinganya oleh Pamanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan oleh adiknya yakni Arya Mataram, Arya Penangsang tetap berangkat ke medan perang dengan menaiki kuda jantan andalannya bernama Gagak Rimang.

Gambar : Perang di dekat Bengawan Sore

Oleh siasat Ki Ageng Pamanahan Sutawijaya menunggu di seberang sungai Bengawan Sore menggunakan kuda betina yang sudah dipotong ekornya sehingga Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar kuda yang ditunggangi oleh Sutawijaya dengan menyeberangi Bengawan Sore. Dalam posisi yang tidak siap Arya Penangsang berhasil ditusuk menggunakan tombak Kyai Plered, dan terjadilah peperangan antara pasukan Pajang dan Jipang.

Dalam cerita yang beredar luas Arya Penangsang mampu bertahan meskipun terdapat luka robek dalam perutnya, di mana ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang. Dalam peperangan itu Arya Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Dalam keadaan terdesak itu Sutawijaya hendak mencabut keris yang dibawanya. Lalu Arya Penangsang diteriaki gunakan juga pusakamu dan Arya Penangsang lupa akan ususnyayang dililitkan ke gagang keris itu. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang malah terpotong sehingga menyebabkan kematiannya. Dalam peperangan itu Ki Matahun yang merupakan patih Jipang tewas. Arya Mataran dan istrinya serta beberapa kerabat berhasil meloloskan diri ke Palembang.

 

Referensi :

https://daerah.sindonews.com/read/627325/29/sultan-trenggono-raja-demak-yang-berhasil-lumpuhkan-kekuatan-majapahit-1639411950?showpage=all

Jurnal Skripsi “Perbandingan Cerita Arya Penangsang Versi Naskah Babad Pajang dan Cerita Rakyat” (http://eprints.undip.ac.id/64821/1/Ringkasan_Skripsi_(Jurnal).pdf)

https://daerah.sindonews.com/read/699539/29/arya-penangsang-raja-demak-yang-tewas-oleh-keris-setan-kober-miliknya-saat-melawan-sutawijaya-1646082234

 https://www.merdeka.com/jateng/kisah-hidup-jaka-tingkir-raja-pertama-dan-pendiri-kerajaan-pajang.html

Dec 2, 2021

Mengenal Sejarah Sunan Pojok

Makan Sunan Pojok yang berada di pusat kota Blora atau lebih tepatnya selatan alun-alun kota Blora sekarang menjadi tempat wisata religius sekaligus tempat wisata sejarah. Lalu siapa sebenarnya Sunan Pojok dan bagaimana kiprahnya di Blora?

Gambar : Makan Sunan Pojok

Dari berbagai sumber Sunan Pojok memiliki beberapa nama yakni Pangeran Pojok, Wali Pojok Blora, Pangeran Surabaya, Pangeran Surabahu, Pangeran Sedah, Syaikh Amirullah Abdurrochim. Silsilah keluarganya sendiri Sunan Pojok memiliki 3 orang anak, yakni : (1) Pangeran Kleco, makamnya sekarang berada di Kudus, di kompleks makam Sunan Kudus, (2) Pangeran Joyodipo, Makamnya ada di Blora, (3) Pangeran Dipoyudo, makamnya berada di Desa Tambaksari, Blora.

Nama kecil Sunan Pojok sendiri Pangeran Surabahu Abdul Rohim, merupakan putra dari Kiai Ashari Sunan Bejagung Tuban.


Cerita bermula saat beliau dewasa dan mendapatkan perintah dari Raja Mataram yakni Sultan Agung Hanyakrakusuma (memerintah Kerajaan Mataram dari tahun 1613-1645) menjadi Panglima Perang di Kerajaan. Tugas pokok sebagai panglima perang saat itu, yakni :

1.      Mengamankan wilayah Pati, Tuban, Surabaya, dan Pasuruhan dari pengaruh pemberontak.

2.      Mengajak bersatu dan bersama mengusir VOC

Setelah keberhasilannya dalam perang melawan VOC, diangkat menjadi Adipati di Tuban pada tahun 1619. Sunan Pojok menjadi Adipati Tuban selama 42 tahun mulai tahun 1619 sampai dengan tahun 1661. Sesuai tradisi Majapahit, rangkap jabatan antara menjadi Adipati Tuban dan panglima perang(Senapati).

Sunan Pojok memberikan banyak peninggalan di Blora, menurut cerita tutur misalnya Sunan Pojok banyak memberikan nama-nama dukuhan di Kabupaten Blora. Masjid Agung Baitunnur Blora yang terletak persis di depan alun-alun Blora juga merupakan salah satu peninggalannya.

Haulnya diperingati setiap tanggal 27 Sura karena ini merupakan hari kelahiran beliau.

 

Diambil dari berbagai sumber.

Aug 26, 2020

Mengenal lebih dekat dengan Kesenian Tayub Blora

Bangsa Indonesia memiliki beragam budaya, memiliki beragam bahasa,karena perbedaan sukunya. Inilah keragaman Indonesia yang hidup dan bersatu sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Salah satunya dapat dilihat dari beragamnya kesenian, mulai dari seni music, seni rupa, seni tari, dan seni lainnya. Berbicara tentang seni tari salah satu kesenian khas daerah Blora adalah Tayub. Tayub merupakan seni pertunjukan tari yang dapat digolongkan sebagai tari rakyat tradisional. Di dalam Tayub sifat kerakyatan sangat menonjol, sebagai gambaran dan jiwa masyarakat pedesaan yakni sifat spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, rancak, dan penuh rasa humor. Yang tidak hanya di Blora, Kesenian Tayub juga sebagai kesenian khas daerah lainnya seperti Bojonegoro, Tuban, Nganjuk, Ngawi, Tulungagung hingga Madiun.

Pada awalnya kesenian Tayub adalah sebagai ritual tarian, yakni ritual untuk kesuburan pertanian. Sebelum berkembang sebagai seni pertunjukan kesenian Tayub diselenggarakan bersamaan dengan Upacara kesuburan pertanian, diaman ini dilangsungkan saat mulai panen dengan harapan pada musim tanam berikutnya kan mendapat hasil yang melimpah lagi. Tidak hanya itu, Tayub juga diadakan hampir di seluruh upacara seperti upacara bedah bumi.

Dalam acara bedah bumi, pengibing atau pejoget yang tampil pertama bersama penari tayub adalah tetua desa. Pasangan antara tetua desa dan penari ini disebuk bedah atau membedah bumi. Tarian berpasangan ini dilangbangkan sebagai hubungan pria dan wanita dengan tanah yang dibedah atau dibelah hendak ditanami padi.

Seiring perkembangan zaman tidak hanya dalam ritual kesuburan pertanian, sebagaimana pentas seni lain seperti Barong, wayang atau Ketoprak, pertunjukan Tayub juga untuk upacara adat lainnya. Ataupun pada saat pesta perkawinan, khitan, orang memiliki nadzar dan lain sebagianya.

Pertunjukan seni Tayub diselenggarakan secara ramai dan bersama-sama. Unsur-unsur utama di dalamnya adalah ledek atau penari tayub dan gamelan. Serta penayub atau pejoget.

Walaupun pada awalnya kesenian Tayub terkesan dengan unsur tidak senonoh, akan tetapi karena tuntutan zaman sudah seharusnya kesenian Tayub menjadi lebih baik. Dengan memperhatikan norma dan kebiasaan yang ada di masyarakat saat ini. Seperti penghilangan unsur minuman keras dalam pertunjukan Tayub.

Sebagai kesenian dan warisan budaya nenek moyang, sebagai generasi muda juga hendaknya mengenal budaya tayub. Juga untuk melestarikan agar tidak punah dimakan zaman.

  






Referensi            :

https://blorakab.go.id

https://etnis.id/mengenal-tarian-tayub-dari-blora/

 

Sumber Gambar :

https://www.netralnews.com/news/singkapsejarah/read/138250/dilema-penari-tayub-dari-kemben-sampai-ngilu-hati-1-

https://radarsemarang.com/2017/08/22/penari-tayub-perempuan-harus-dari-luar-dusun/

http://misteri.detikone.com/berita/detail/balada-penari-tayub-tuban

 

Feb 15, 2020

Arya Penangsang dan Kisah Penuntutan Haknya sebagai pewaris Demak



Arya Penangsang atau Arya Jipang atau Ji Pang Kang adalah Raja Adipati Jipang yang memerintah pada pertengahan abad ke-15. Kisah yang paling terkenal adalah perebutan kekuasaan terhadap tahta Demak hingga cerita tentang tewasnya Arya Penangsang dalam medan pertempuran.
Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Surowiyoto atau Raden Kikin atau sering disebut juga sebagai Pangeran Sekar, ia adalah putra Raden Patah raja Demak pertama. Ibu Raden Kikin adalah putri Raja Jipang. Sehingga Arya Penangsang bisa mewarisi kedudukan kakeknya sebagai Penguasa Jipang.
Dalam Kerajaan Demak sendiri, system suksesi kepemimpinan adalah melalui keturunan seperti system kerajaan monarki lainnya. Sehingga secara hukum ada 3 pihak yang berkemungkinan sebagai penerus tahkta kerajaan Demak. Dalam urutan dari tertua yakni Raden Surya(Putra pertama, yang akan lebih dikenal sebagai Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor) dan yang kedua adalah Raden Kikin dan anak yang lebih muda dari Raden Kikin yakni Raden Trenggono (yang menjadi Raja Demak ketiga-Sultan Trenggono).
Pada masa pemerintahan Raden Patah pada tahun 1512 memerintahkan agar membebaskan Malaka dari Portugis. Adipati Unus memimpin pasukan penyerangan itu yang lebih dikenal sebagai Ekspedisi Jilid 1. Sepeninggal Raden Patah, tampuk kekuasaan dilanjutkan kepada Raden Surya yang lebih dikenal sebagai Adipati Unus dengan wasiat sendiri dari Raden Patah. Dalam sebuah riwayat ada yang mengatakan bahwa Pati Unus adalah menantu dari Raden Patah. Setelah Adipati Unus atau dikenal juga Pangeran Sabrang Lor berkuasa beliau melanjutkan ekspedisi untuk mengusir Portugis dari Malaka yang pernah mengalami kegagalan dan mempersiapkan penyerangan yang lebih matang. Adipati Unus ingin membebaskan Malaka dari Portugis sehingga memimpin sendiri pasukan itu. Dalam Ekspedisi kedua ini Adipati Unus tewas dalam medan pertempuran pada tahun 1521. Nantinya di kemudian hari Portugis dan bangsa Eropa lainnya menjadi penjajah atas bangsa-bangsa di Nusantara selama berabad abad.
Terjadi kekosongan kekuasaan dalam Kerajaan Demak, sehingga terjadilah perebutan kekuasaan antara Raden Kikin dan Raden Trenggono. Karena tidak ada keturunan dari Adipati Unus(dalam cerita lain disebutkan bahwa anaknya yakni Raden Abdullah masih sangat kecil dan berada di Banten, karena alasan keamanan tetap tinggal di Banten tidak ke Demak). Dalam kisah selanjutnya dimana terjadi perebutan kekuasaan atas kedua pihak, Raden Kikin yang mempiliki 2 orang putra yakni Arya Penangsang dan Arya Mataram, sedangkan Raden Trenggana memiliki putra yang bernama Raden Mukmin yang disebut juga Sunan Prawata. Ayah Arya Penangsang tewas dibunuh di tepi Sungai sepulang shalat Jumat. Para pengawalnya sempat membunuh Ki Sunyata. Sejak saat itu dikenal lah dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lapen (Bunga yang gugur di sungai). Dan dengan bukti ini lah dapat disimpulkan bahwa pembunuhan atas Raden Kikin adalah tanggung jawab Sunan Prawata. Dengan ini maka Sultan Trenggono naik tahta dan memimpin Kerajaan Demak. Tahun 1521 Sultan Trenggana naik takhta dan pemerintahannya berakhir pada 1546 saat ia gugur dalam upaya penakhlukan Panarukan dan Situbondo (Sekarang masuk wilayah Jawa Timur).
Sementara itu sepeninggal Raden kikin Arya Penangsang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Jipang. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang sendiri saat ini terletak di Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Arya Penangsang yang ayahnya dibunuh menjadi dendam dengan Sultan Trenggono. Dendam itu terus terpelihara hingga pengikut Arya Penangsang melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto pada tahun 1549 sebagai balas dendam karena Sunan Prawoto telah membunuh P. Surowiyoto (Sekar), Bapak dari P. Arya Penangsang demi menaikkan Trenggana (Bapak Sunan Prawoto) menjadi Raja Demak ke 3.  Setelah membunuh Sunan Prawoto Arya Penangsang lalu menjadi raja Demak ke 5 atau Penguasa terakhir Kerajaan Demak dan memindahkan pusat Pemerintahan nya ke Jipang, sehingga pada masa itu dikenal dengan sebutan Demak Jipang. Namun pada tahun 1554 Arya penangsang tewas dibunuh Pasukan pemberontak kiriman Hadiwijaya, penguasa Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Arya Penangsang juga terkenal sakti mandraguna serta memiliki kepribadian yang tegas dan kukuh, baginya tidak ada kata kompromi dalam membela dan mempertahankan kebenaran. Sifat yang demikian ternyata telah membuat gerah banyak pihak, alhasil entah siapa yang mengomandoi para generasi penulis sejarah ini sehingga secara keroyokan telah menghakimi sejarah P. Arya Penangsang. Disebutkan dalam tulisan sejarahnya bahwa Arya Penangsang adalah orang yang punya kepribadian kurang baik, pemberontak dan pembunuh, tempramental serta kurang sabar dalam melakukan sesuatu.
Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma,pernyataan sunan ini membuat Ratu Kalinyamat kecewa. Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh. Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan untuk membunuh Hadiwijaya , menantu Raden Trenggana yang menjadi Adipati Pajang, namun ke empat utusan itu dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat bahkan di beri hadiah pakaian Prajurit oleh Hadiwijaya.
Kemudian Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. pada kesempatan itu sunan kudus memberikan tuah rajah yang sedianya disiapkan untuk tempat duduk Hadiwijaya, akan tetapi atas nasihat dari salah satu punggawanya adipati Pajang Hadiwijaya tidak menempati nya yang lalu diduduki oleh Arya Penangsang, padahal sebelumnya telah di wanti-wanti oleh sunan kudus agar tidak menempati tempat yang telah di beri Tuah rajah Kalacakra itu.
Setelah Hadiwijaya pulang Sunan Kudus menyuruh Arya Penangsang melakukan puasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra. Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Adipati Pajang Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera membunuh Arya Penangsang, dirinya yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.
Hadiwijaya segan memerangi Arya Penangsang secara langsung karena merasa dirinya hanya sebagai mantu keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram. Kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara itu.demikian juga putra kandung ki ageng pemanahan yang bernama Sutawijaya ikut pula mendaftar dalam sayembara. Oleh karenanya Hadiwijaya mengerahkan pasukan Pajang dan memberikan Tombak Kyai Plered, untuk membantu Ki Ageng Pemanahan dan putra kandung nya, yaitu Sutawijaya untuk mengalahkan Sultan Demak 5 Arya penangsang .
Ketika pasukan Pajang datang menyerang Kotaraja Jipang, saat itu P. Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan adik Arya Penangsang ( Arya Mataram), Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.
Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara Pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. dalam perang itu perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian kesaktian yang dimiliki oleh Arya Penangsang membuatnya tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.
Arya Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang malah terpotong sehingga menyebabkan kematiannya. Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang tewas pula, sedangkan Arya Mataram berhasil meloloskan diri.
Dampak budaya
Ada yang berpendapat bahwa untaian bunga melati dalam keris pengantin pria jawa diibaratkan sebagai laki-laki harus sabar dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Akan tetapi bagi masyarakat di Kabupaten Blora maupun Kabupaten Bojonegoro berpendapat lain. Untaian bunga melati pada keris pengantin pria Jawa diibaratkan sebagai lambang kegagahan Arya Penangsang. Meskipun telah terburai isi perutnya, namun Arya Penangsang tetap masih mampu tegap berdiri hingga titik darah penghabisan. Dari perlambang itu, diharapkan sang pengantin laki-laki kelak bisa menjaga kemakmuran, kebahagiaan, keutuhan dan kehormatan rumah tangga meski dalam keadaan kritis seperti apa pun. Seperti halnya Arya Penangsang yang tetap memegang prinsip hingga ajal tiba.

Referensi       :

Jan 18, 2020

Sejarah Samin Blora, Perlawanan tanpa Kekerasan




Ajaran Samin atau lebih dikenal dengan Samin dengan tokoh sentralnya yakni Samin Soerosentiko, disebut juga sedulur sikep. Samin Soerosentiko sendiri lahir dengan nama kecil Raden Kohar pada tahun 1859 di desa Ploso-Kediren, Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Surowijaya yang lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Di tahun itu kekuasaan atas wilayah Indonesia (Hindia Belanda saat itu) adalah di bawah kekuasaan Belanda. Lahir di bawah kekuasaan penjajah, yang sudah menjadi rahasia umum bahwa adanya ketidak adilan dalam kehidupan, menjadi salah satu latar belakang pergerakan ajaran Samin.
Lahir dengan nama Kohar, dank arena ia merupakan kalangan bangsawan maka ia berhak mengenakan nama Raden Kohar. Akan tetapi pada suatu ketika ia mengganti namanya menjadi Samin yang lebih kerakyatan. Ganti nama itu diikuti sifat bijak yang memberi pencerahan bagi orang di sekitarnya. Sejak 1890, sebagai Samin, dia mulai menyiarkan ajarannya di desa Klopodhuwur. Banyak orang dari desa tersebut terpengaruh, kemudian juga desa sebelahnya, Tapelan. Ajaran yang awalnya dianggap biasa oleh pemerintahan kolonial Belanda dibiarkan saja, karena dianggap hanya ajaran kebatinan atau agama baru biasa. Pada Januari 1903 Residen melaporkan bahwa ada sejumlah 772 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 Desa Blora bagian selatan dan sekitarnya yang giat mengembangkan ajaran samin. Barulah di tahun 1905, pemerintah kolonial mulai pusing. Pengikut-pengikut Samin itu tak sudi lagi bayar pajak. Jumlah pengikutnya pun terus bertambah. Tahun 1907, jumlah pengikut Samin diperkirakan lebih dari 5.000 orang.
Maret 1907, muncul isu adanya pemberontakan. Sehingga para pengikut Samin yang hadir dalam acara syukuran di desa Kedhung, Tuban ditangkapi. 8 November 1907 Samin Soerosentiko diangkat oleh para pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Aparat Kolonial pribumi mulai khawatir dan bertindak. Kemudian selang 40 hari Samin Soerosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo Asisten Residen wedana Randublatung pada 18 Desember 1907 bertepaan dengan tanggal 12 Selo 1325 Tahun Jawa. Selanjutnya, Samin dikurung di bekas tobong pembaran batu gamping. Kemudian dia dibawa ke Rembang untuk diperiksa. Setelah pemeriksaan Samin Soerosentiko diputuskan bersalah dan beserta delapan pengikutnya diberi hukuman pengasingan. Samin Soerosentiko dan sejumlah pengikutnya dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat. Ini dilakukan pemerintahan Kolonial Belanda untuk menjauhkan Samin dengan para pengikutnya. Samin Soerosentiko berada di pembuangan hingga meninggal pada 1914.
Pengkaji sejarah dan budaya kabupaten Blora, Eko Arifiyanto menjuluki Samin Surosentiko sebagai Orang Rantai dari Blora. Hal ini karena Samin Surosentiko menjalani pengasingan dengan kaki yang dibelenggu rantai.
1908, setelah penangkapan Samin Soerosentiko sebagai tokoh sentral dalam ajaran Samin tidak membuat padam nafas pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikur Samin mengajarkan ajaran Samin di Madiun. Dengan salah satu ajarannya yakni penolakan membayar pajak. Karena membahayakan kepentingan pemerintahan Belanda dengan mengajarkan pelawanan tidak membayar pajak Wongsorejo dengan beberapa pengikutnya dibuang keluar Jawa.
1911, Surohidin, menantu Samin Soerosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati. Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.
Enam tahun setelah penangkapan Wongsorejo, tahun 1914 secara massal masyarakat Madiun menolak membayar pajak kepada pemerintah kolonial. Peristiwa pembangkangan massal ini menginspirasi gerakan serupa di beberapa daerah diantaranya, Kajen dan Larangan (Kabupaten Pati), Tapelan (Kabupaten Bojonegoro) dan tempat-tempat lain. Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial Belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi. Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi. Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak.
Pemerintah kolonial pun tidak tinggal diam menghadapi pembangkangan ini. Sejumlah pengikut Samin Surosentiko di Madiun, Pati, Grobogan dan Kudus ditangkap. Penangkapan ini tidak membuat pengikut Samin Surosentiko berkecil hati.Para pengikut Samin Surosentiko meyakini bahwa Ratu Adil akan segera tiba. Di tahun yang sama yakni 1914 Samin meninggal di pembuangannya.
Ratu Adil akan segera tiba bila tanah yang digadai pemerintah kolonial Belanda dikembalikan kepada orang Jawa.“ Kalimat tersebut diyakini oleh para pengikut Samin Surosentiko dan menjadi motivasi untuk mengusir penjajah asing dari tanah Jawa.
Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh.
Menurut Paulus, Samin menjadi bahan cemoohan yang bersifat politis oleh pemerintah. Samin dicitrakan sebagai hal buruk. Pengikut-pengikutnya, yang disebut orang Samin, terus hidup dan tak suka dipaksa oleh pihak manapun. Samin dan pengikutnya, juga sebagian orang yang bukan pengikutnya, adalah orang-orang yang berkemauan keras dan tak suka dipaksa. Sejak lama, pengikut ajaran Samin kebanyakan adalah masyarakat petani. Sawah dan ladang mereka tentu akan mereka jaga jika diganggu oleh siapa pun.
Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar di beberapa daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata Samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon.
Perlawanan Samin adalah pemberontakan di masanya, beban pemerintahan. Tetapi menjadi simbol perlawanan di masa sekarang. Bahkan sekarang telah dianggap sebagai ikon Kabupaten Blora di bidang pariwisata dengan adanya gedung Samin di Blora.
Pada September 2019 lalu Kabupaten Blora menerima penghargaan Warisan Budaya Tak Benda(WBTB) Kebudayaan Samin dari Kemendikbud RI.
Sumber referensi     :